Saya orang yang punya banyak hutang. Maksud saya hutang budi. Hutang baca dan hutang tulisan juga ada, namun itu sekadar proyek pribadi. Hutang duit sih rahasia. Dan masalah hutang budi, saya sepakat bahwa soal itu adalah perkara yang sulit tagih dan lunasnya. Akadnya juga demikian. Namun saya penghutang yang tahu diri. Kini atau kelak, sekarang atau nanti, saya akan bayar hutang itu pelan-pelan.
Saya bicara soal seorang kawan, sekaligus guru. Sosok yang membuat saya berhutang budi kepadanya. Sosok yang menawarkan saya ragam cara pandang baru untuk melihat hidup. Menertawakan hidup yang getir, sekaligus menjalaninya dengan berani. Kawan saya ini juga mengajarkan saya tentang bagaimana menulis. Secara teknik maupun soal bagaimana menggairahinya.
Medio Juni 2010, kami berkenalan. Tentu lewat media yang kami puja sekaligus paling sering kami rutuki: internet. Melihat minat sekaligus betapa belepotannya saya menulis, ia tertarik mengajari. Dan akhirnya saya ikut di kelas menulis online yang gratis sekaligus galak. Saya adalah gabungan murid yang rajin salah ketik, gagap teknologi, kaku merumuskan gagasan, sekaligus abai di tanda baca. Kawan saya itu, guru saya itu, dengan caranya yang unik mengajari saya keras-keras di fitur chatting sebuah situs jejaring.
Mengingat reputasinya, tentu ia bukan guru yang asal. Ia sudah bergelut di dunia tulisan sedari lama. Tapi saya yakin, tak akan kamu jumpai namanya di kelas-kelas menulis berbayar, di jurnal-jurnal, atau di forum-forum yang kaku. Tapi ia selalu ada di lingkaran orang-orang keren. Begawan-begawan dunia maya. Di usia yang 19 tahun, ia sudah menerjemahkan buku tulisan Dostoyevsky. Tak lama, ia menerjemahkan salah satu buku yang dikeluarkan penerbit yang karib dengan tema-tema subversif. Sisanya, ia menulis freelance. Terkadang cuma sekadar "bermain-main” menuntaskan kesenangan pribadi. Tapi yang jelas, ia benar-benar hidup dengan menulis.
Hal menarik yang ia tawarkan pada saya adalah keberanian. Bagaimana berani mengkaji ulang pemahaman yang selama ini sudah tertanam di balik tempurung kepala karena nilai-nilai yang disepakati sedari kecil. Juga soal bagaimana menerima perbedaan. Banyak hal lain sebenarnya yang ia sampaikan dengan caranya yang unik, di sela-sela kelas menulis kami.
Sampai suatu ketika, saya merasa cukup. Saya bukan tipikal orang yang mudah puas belajar, sebenarnya. Namun saya merasa, apa yang ia sampaikan sudah banyak. Dan saya akan memanfaatkan bekal yang saya peroleh darinya untuk menggali hal-hal baru. Itu akan lebih membuat saya merasa berkembang.
Pernah dengar kisah Palgunadi? Dia adalah seorang dari kasta rendah yang hendak belajar memanah pada Begawan Durna. Karena Durna hanya mengajar trah ksatria, Palgunadi ditolak. Ia pun lantas membuat patung Begawan Durna, dan diletakkannya di dekatnya saat ia berlatih memanah sendirian. Seolah-olah, ia berlatih dalam pengawasan Durna.
Saya barangkali bisa mengibaratkan laku Palgunadi itu. Kini, setiap menulis, saya seringkali teringat saat diomeli, di”bentak”, sekaligus digerutui oleh kawan sekaligus guru saya itu. Namun saya sepakat, apa yang ia lakukan semata-mata demi kebaikan.
“Sorry, gue orangnya berantakan. Tapi untuk menulis, gue rapi”. Itu yang sering ia bilang.
Atau seperti ini, “ Nyeeettt!! Itu tanda baca gak bener juga! Tanda baca itu common sense kok”. Saya hanya tergelak cengengesan di depan monitor.
Sekali lagi, saya orang yang risih sebenarnya kalau punya hutang, apalagi hutang budi. Jadi saya harus membayar pelan-pelan. Untuk kasus ini, saya akan membayarnya dengan terus menulis. Meski soal hal-hal yang barangkali tidak penting. Barangkali itu bisa jadi bagian membayar hutang saya.
0 comments:
Posting Komentar