16 Februari 2015

Pitology

Saya orang yang punya banyak hutang.  Maksud saya hutang budi. Hutang baca dan hutang tulisan juga ada, namun itu sekadar proyek pribadi. Hutang duit sih rahasia. Dan masalah  hutang budi, saya sepakat bahwa soal itu adalah perkara yang sulit tagih dan lunasnya. Akadnya juga demikian. Namun saya penghutang yang tahu diri. Kini atau kelak, sekarang atau nanti, saya akan bayar hutang itu pelan-pelan.

Saya bicara soal seorang kawan, sekaligus guru. Sosok yang membuat saya berhutang budi kepadanya. Sosok yang menawarkan saya ragam cara pandang baru untuk melihat hidup.  Menertawakan hidup yang getir, sekaligus menjalaninya dengan berani. Kawan saya ini juga mengajarkan saya tentang bagaimana menulis. Secara teknik maupun soal bagaimana menggairahinya.

Medio Juni 2010, kami berkenalan. Tentu lewat media yang kami puja sekaligus paling sering kami rutuki: internet. Melihat minat sekaligus betapa belepotannya saya menulis, ia tertarik mengajari. Dan akhirnya saya ikut di kelas menulis online yang gratis sekaligus galak.  Saya adalah gabungan murid yang rajin salah ketik, gagap teknologi, kaku merumuskan gagasan, sekaligus abai di tanda baca. Kawan saya itu, guru saya itu, dengan caranya yang unik mengajari  saya keras-keras di fitur chatting sebuah situs jejaring.

Mengingat reputasinya, tentu ia bukan guru yang asal. Ia sudah bergelut di dunia tulisan sedari lama. Tapi saya yakin, tak akan kamu jumpai namanya di kelas-kelas menulis berbayar, di jurnal-jurnal, atau di forum-forum yang kaku. Tapi ia selalu ada di lingkaran orang-orang keren. Begawan-begawan dunia maya. Di usia yang 19 tahun, ia sudah menerjemahkan buku tulisan Dostoyevsky. Tak lama, ia  menerjemahkan salah satu buku yang dikeluarkan penerbit yang karib dengan tema-tema subversif. Sisanya, ia menulis freelance. Terkadang cuma sekadar "bermain-main” menuntaskan kesenangan pribadi. Tapi yang jelas, ia  benar-benar hidup dengan menulis.

Hal menarik yang ia tawarkan pada saya adalah keberanian. Bagaimana berani mengkaji ulang pemahaman yang selama ini sudah tertanam di balik tempurung kepala karena nilai-nilai yang disepakati sedari kecil. Juga soal bagaimana menerima perbedaan. Banyak hal lain sebenarnya yang ia sampaikan dengan caranya yang unik, di sela-sela kelas menulis kami.

Sampai suatu ketika, saya merasa cukup. Saya bukan tipikal orang yang mudah puas belajar, sebenarnya. Namun saya merasa, apa yang ia sampaikan sudah banyak. Dan saya akan memanfaatkan bekal yang saya peroleh darinya untuk menggali hal-hal baru. Itu akan lebih membuat saya merasa berkembang.

Pernah dengar kisah Palgunadi? Dia adalah seorang  dari kasta rendah yang hendak belajar memanah pada Begawan Durna. Karena Durna hanya mengajar trah ksatria,  Palgunadi  ditolak. Ia pun lantas membuat patung Begawan Durna, dan diletakkannya di dekatnya saat ia berlatih memanah sendirian. Seolah-olah, ia berlatih dalam pengawasan Durna.

Saya barangkali bisa mengibaratkan laku Palgunadi itu. Kini, setiap menulis, saya seringkali teringat saat diomeli, di”bentak”, sekaligus digerutui oleh kawan sekaligus guru saya itu. Namun saya sepakat, apa yang ia lakukan semata-mata demi kebaikan.

“Sorry, gue orangnya berantakan. Tapi untuk menulis, gue rapi”. Itu yang sering ia bilang.
Atau seperti ini, “ Nyeeettt!! Itu tanda baca gak bener juga! Tanda baca itu common sense kok”.  Saya hanya tergelak cengengesan di depan monitor.

Sekali lagi, saya orang yang risih sebenarnya kalau punya hutang, apalagi hutang budi. Jadi saya harus membayar pelan-pelan. Untuk kasus ini, saya akan membayarnya dengan terus menulis. Meski soal hal-hal yang barangkali tidak penting. Barangkali itu bisa jadi bagian membayar hutang saya.  

Kisah Pejalan yang Terlampau Jauh


Ketika kehidupan sudah sedemikian karib dengan nilai-nilai dan kesepakatan yang bermuara pada kepalsuan, apa yang hendak kamu lakukan? Muak, lalu mengumpat dan bersumpah serapah? Mengikuti arus dan berserah? Atau menciptakan counter culture sendiri, yang terkesan utopis dan semacam onani konyol? Entahlah. Banyak hal yang mungkin bisa kita lakukan, salah satunya meninggalkan itu semua dengan proses transaksi internal yang bulat, bahwa apapun yang kita jalani adalah pilihan sendiri, pantang mengeluh dan menyalahkan orang lain. Sisanya, bersenang-senang merayakan kehidupan. Ya, bersenang-senanglah. Jalani hidup dengan berani.


Seperti yang dilakukan oleh Christopher McCandless di film Into The Wild, besutan sutradara kawakan Sean Penn, yang bertolak dari buku karya John Krakauer dengan judul yang sama. Film yang bermula dari kisah nyata ini menceritakan petualangan seorang pemuda bernama Christopher McCandless, 22 tahun, yang meninggalkan banyak hal yang lazim ditempuh oleh orang kebanyakan, sebab ia terlampau jenuh sekaligus muak dengan nilai-nilai yang disepakati masyarakat secara umum, sadar ataupun tidak.


Chris - begitu ia biasa dipanggil-, adalah seorang pemuda Amerika yang baru saja menamatkan studinya di Emory University dengan nilai memuaskan, sehingga punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan bergengsi di Havard University. Tapi alih-alih melanjutkan sekolahnya, selepas wisuda, Chris malah membuat sebuah keputusan yang mencengangkan. Ia memutuskan untuk meninggalkan semua yang ia miliki. Ia hendak memulai sebuah babak kehidupan yang baru. Menjadi seorang pengembara. Seorang pejalan. Jauh, terlampau jauh. Alaska yang dingin adalah perhentiannya.


Maka Chris, selayaknya seorang manusia baru, mengganti namanya menjadi Alexander Supertramp. Alex, si gembel super. Ia menguras tabungannya sebesar 24.000 dollar untuk kemudian disumbangkan ke Oxfam, sebuah lembaga sosial. Uang tunainya juga ia bakar, segenap kartu identitas ia gunting dan rusak. Alex, si Christopher McCandless yang baru, meninggalkan lingkaran orang-orang terdekatnya dengan kekecewaan sekaligus sebuah perasaan baru untuk mengarungi hidup. Kekecewaan terhadap keluarganya yang kelewat matrealistis, juga terhadap tatanan sosial yang dirasanya penuh kepalsuan.


Perjalanan Alex sebagai seorang manusia baru semakin berwarna setelah di jalan ia berkenalan dengan banyak orang yang menarik. Bukannya mengurungkan niatnya untuk mengembara, Alex justru semakin antusias untuk mengembara setelah bertemu dengan orang-orang itu. Bertemu pasangan hippies bernama Rainy dan Jan Burnes, Wayne Westerberg si petani gandum yang akhirnya ditangkap polisi, juga seorang veteran bernama Ronald A Franz yang hendak mengangkatnya sebagai cucu.



Dalam perjalanannya, Alex ditemani buku catatan harian yang merekam setiap jejak dan renungan-renungannya. Alex juga setia membawa dan membaca buku-buku karangan Leo Tolstoy, Jack London, dan Boris Pasternak. Perjalanan Alex berakhir di sebuah bus rongsokan yang teronggok di Alaska. Di sana Alex, menghabiskan usianya. Di bus itu, yang disebutnya "Magic Bus", Alex menandaskan renungan-renungan soal perjalanan hidupnya sambil tetap bertahan hidup di Alaska sendirian. Ya, sendirian. Berkawan dengan dinginnya udara Alaska, sekawanan rusa, jernihnya sungai, dan pohon-pohon hijau. 

Sean Penn menggarap film ini dengan penuh detail. Sangat detail. Tak ayal, film ini riuh oleh bermacam kategori nominasi award. Akting-akting pemerannya sangat natural, dialognya terasa nyata dan jauh dari unsur dibuat-buat. Khusus untuk Emili Hirsch, pemeran Alex sekaligus Chris, ada apresiasi tersendiri. Ia berhasil mendalami karakter yang dibalut perasaan getir memandang hidup, kecewa, tapi juga menyimpan sorot mata keberanian mengarungi hidup dengan mengharu biru. Sean Penn juga brilian memainkan alur, yang campuran antara alur flashback dan alur maju. Timingnya pas. Penn juga tidak mengkultuskan sosok Chris sebagai seorang hero, tapi sebagai anak manusia yang penuh dengan segala kemungkinan untuk menjadi naif sekaligus menjadi bijak. 

Film ini juga dibagi dengan chapter-chapter, sebagaimana bukunya. Pengambilan gambarnya yahud, belum lagi ditambah scene-scene yang mengambil capture pemandangan di kawasan Alaska, begitu memanjakan mata. Film semakin istimewa dengan soundtrack yang diisi oleh suara Eddie Vedder, dedengkot Pearl Jam itu. Suaranya berat, berkarakter dan penuh keharuan. Tanpa malu-malu, saya bahkan sempat meneteskan airmata ketika lagu berjudul Society dimainkan pada saat  scene Alex sedang berjalan melanjutkan kembaranya. Society, crazy indeed. I hope you're not lonely without me. 

Berbulan-bulan dalam mengarungi kesendirian di Alaska, Alex akhirnya harus berhenti. Tubuhnya semakin kurus dan kotor. Daya tahan tubuhnya menurun. Tapi semangatnya menjani hidup tanpa keluhan tetap tak surut. Ia meninggal setelah diduga mengkonsumsi kentang beracun. Mayatnya ditemukan oleh sekawanan pemburu sekitar satu minggu setelah kematiannya, di dalam bus yang ditinggalinya, tergolek di dalam kantung tidur yang dijahit oleh ibunya. Agak sedikit mengecewakan untuk sebuah ending film. Tapi ini kisah nyata, dan demikianlah keadaannya.

Perjalanan Chris ibarat sebuah laku asketik seorang pemuda naif. Di akhir hidupnya, sebelum maut menjemput, ia menuliskan sebuah kalimat yang dikutipnya dari novel Doctor Zhivago karangan Boris Pasternak. Ibarat sebuah kalimat pencerahan seorang pertapa dengan bus rongsokan sebagai pohon bodhi-nya. Bunyinya, "Happines only real when shared".