13 Februari 2015

Senandung Untuk Kau

Gelap sudah bergelayut disini, hujan menyisakan genangan genangan air di kolam kolam kecil di halamanku. Tapi aku masih saja mematung menepis kesunyian. Mulai ku julurkan telunjuk mengukir sisa sisa bayangmu di kaca yang berembun. Akhh aku lupa, aku lupa saat mulai membuat sketsa wajahmu karena semburat senja tadi menghalangiku menatap dirimu lebih lama. Tidak.. tidak.. ternyata memoriku jauh lebih kuat dari itu, bukan wajahmu yang aku lupa tapi seberapa lama aku mengenalmu yang aku lupa, karena detak jam dinding pun tak mau bercerita tentang sejak kapan kau tawarkan kehangatan itu padaku. Hey, untuk kau yang sedang pongah mengikuti dilema hidupmu. Dengarlah aku akan bercerita tentang sekeping hati yang ku sisakan untukmu. Benar, kau benar.. Sekeping hati itu tidak akan ku satukan pada sekeping hati yang masih rancu bagimu. Karena ada seonggok hati utuh yang telah kau genggam lebih dahulu. Tapi kenapa kau ragu? aku tidak akan meminta mu memungut kepingan hati itu untukku. Aku hanya meminta kau biarkan saja kepingan hatiku berkelana sesuka hatinya sampai waktu menghentikan langkahnya. Tahu kah kau, buah kata yang akan ku lantunkan di setiap sembah sujudku kepada Sang Pembolak balik hati. Ya tentu, tentu ada namamu, ada doa ketentraman dan kesehatan untukmu. Akhh andai kau tahu, saat ini aku tidak pernah punya angan jauh bersamamu, dapat melihatmu tersenyum saja sudah melepaskan gundahku. Aneh memang, jangankan kau.. aku saja bingung dengan perasaan ku. Aku tak ingin memiliki mu hari ini, tapi aku ingin kau tetap ada disini menjadi senandung tidurku. Biarlah sayapku kembang dengan bayangmu. Sungguh indah, benar-benar indah rasa ini. Tuhan memberikan aku sebuah rasa keikhlasan yang lebih kuat dari rasa inginku. Tuhan pun mengulurkan tanganNya dengan murah hati untuk menampung rasa yang telah aku titipkan padaNya. Aku tak pernah takut, aku tak pernah sedih, karena aku bukan seekor kukang yang selalu malu malu menampakkan meganya. Aku adalah seekor semut yang akan selalu mengangkat beban jauh lebih berat tanpa mengutuk-ngutuk adam dan Tuhannya karena Tuhan memberikan ku sebuah rasa dengan keikhlasan yang tiada terkira. Indah.. sungguh.. Dan rasa itu yang menuntunku untuk menepis kesendirian itu. Hey aku tak sebejat itu. Tidak, aku tidak akan membagi sekeping hati yang telah aku sisakan untukmu kepada para pengembara baru yang mencoba untuk singgah dan berlabuh disana. Karena aku akan membiarkan sekeping hati itu tertanam dan mengakar hidup dalam semak semak rindu yang terkadang berbuah dan berbunga atau terkadang hanya akan menjadi makanan ulat ulat kecil saja.
Sekarang aku hanya ingin menjadi yang terbaik untuk diri ku, hidupku dan agamaku. Karena aku bukan cleopatra yang cantik rupa dan dipuja setiap mata memandangnya, tapi aku hanya seseorang hamba sederhana yang mencintaimu dengan bersembunyi di balik doanya. Bukan disini aku menunggumu, bukan hari ini ingin aku memilikimu tapi nanti.. Suatu hari jika torehan tinta takdir Sang Pencipta tergores bersamamu di mahligai keindahannya.

Separuh Dari Satu Yang Utuh

Langit malam yang tadinya hitam kelam, kini memerah, yang sepertinya menandakan pertukaran malam menjadi pagi. Langkah jarum jam seakan terdengar begitu keras pada malam menjelang pagi itu. Yang kemudian mengusik dan mengganggu ku. Seperti ingin memberi tahu kalau,
“sebentar lagi langkahku akan berhenti pada angka 4, tapi kenapa matamu masih menatap langit yang memiliki 3 kotak vertikal dan 4 kotak horizontal yang di sekitarnya tak ada hal yang sepertinya begitu menarik untuk dilihat. Tak ada bulan atau bintang di langit itu, hanya seekor laba-laba tua dengan sarangnya yang tampak begitu tebal. Bukan hal menarik yang mungkin bisa membuatmu terjaga hingga pagi. Hahahaha…”
Aku seperti merasa mendengar semua ocehan dan cemoohan mereka, lalu aku seakan berargumen dengan mereka,
“apa pedulimu jam dinding?, mengapa kau tidak diam saja dan melakukan tugas mu untuk menjalankan waktu agar tetap berputar. Dan kau laba-laba tua, kenapa kau terus memandangiku dengan matamu yang banyak itu, kenapa kau tidak mengurus urusan mu sendiri, atau mungkin kau lebih baik mengganti sarangmu yang sudah tampak lusuh”
Lalu dengan lantang sepertinya laba-laba itu berkata padaku
“memang kamu itu siapa untuk aku perhatikan, jangan salahkan mataku yang lebih dari satu, bukan berarti aku selalu memperhatikanmu, aku punya banyak hal untuk aku lakukan dari sekedar memperhatikan mu. Atau lebih baik dari sekedar memikirkan seorang wanita di luar sana yang mungkin tidak sedang memikirkanmu, atau bahkan sedang tertawa senang entah dengan siapa”
Sindirannya begitu tajam menusukku. Cemoohannya begitu membodohkanku. Lalu dengan nada yang tak mau kalah, aku kembali bersuara pada mereka.
“memangnya kalian yang hanya binatang dan benda mati tahu apa tentang hati, tahu apa tentang cinta. Ini bukan hal yang mudah!”
“jika kamu sadar kalau ini bukan hal yang mudah, kenapa tidak menjadi egois saja dan biarkan cinta itu berakhir di tengah jalan, atau kebingungan di persimpangan”
“kalian memang tidak akan pernah tahu. Jika saja cinta itu mudah, panglima tian feng mungkin tak harus reinkarnasi hingga ribuan kali untuk menemukan sejatinya. Mungkin romeo juga tak harus mati karena meminum racunnya, seperti halnya jack dawson yang terkubur di dasar atlantis demi menjaga hangatnya. Atau mungkin Davey Jones yang harus mencabut jantungnya sendiri dan menempatkannya dalam peti untuk janji abadinya”
Kemudian tak ada lagi suara yang terdengar untuk beberapa saat hingga akhirnya suara musik yang begitu keras mengejutkanku.
“katakan pada mama, cinta bukan hanya harta dan tahta dan pastikan pada semua, hanya cinta yang sejukkan dunia”.
Suara itu terdengar seperti lagu yang sering ku dengar. Tapi dari mana datangnya?, suaranya begitu keras, sepertinya begitu dekat. Aku membuka pintu, berlari ke jalan mencari suara itu. Tapi tak ada suara apapun di luar. Lalu aku kembali masuk ke dalam, dan lagi suara itu masih keras terdengar. Entah gila atau sinting, tapi aku melihat dewa bernyanyi di kamarku. Mereka hanya sebuah poster di balik pintu.
“aku sudah gila…” . bicaraku pada diri sendiri.
“kamu belum gila kawan, dan kamu gak perlu takut. Cinta tak begitu sulit, juga tak harus selalu tentang materi”
Suaranya terdengar besar dan berat, dan aku tahu kalau itu suaranya ahmad dhani yang berbicara kepadaku.
“tapi itu kan lagu dari album yang lama, apa kau tahu kalau keturunan siti nur baya yang sekarang jauh berbeda dari moyangnya, mereka tak lagi mencintai hasan basri, mereka lebih cinta pada yang pasti. Yang pasti mapan, yang pasti tampan. Dan tak bisa dibohongi, bahkan seorang penyanyi yang bernyanyi hanya dengan 3 kata untuk keseluruhan lagunya juga tau, kalau cinta juga perlu materi, dan sudah pasti, tanpa perlu survey lagi, kalau 11 dari 10 wanita pasti setuju akan hal itu. aku seperti merasa apa yang terasa, ketika rasa yang telah lama dikecap kini kian memudar, seperti hambar. Menunggu yang sudah pasti berlalu atau menanti yang tak kunjung pasti”.
Lalu botol-botol yang tadinya penuh kini menjadi kosong setelah ku tenggak, seperti ingin ikut bercerita.
“sudahlah. Non sense itu semua. Buat apa kamu merasakan yang sudah pudar dan hambar. Kamu tidak perlu menanti yang tidak pasti, mari ikut denganku, kita nikmati malam ini”
“lalu apa sebenarnya yang ada?, ketika yang dinanti bukanlah pasti, yang terasa hanya asa yang tak ter-asah, ternyata mimpi yang tak pernah mampir dan bayang yang tak lagi datang.
Lalu apa yang sebenarnya ada?, yang tersisa hanya kiasan pada kertas-kertas lusuh tak ber-tuan, yang bercerita pada bayang dan mimpi yang sedang menanti hal yang tak pasti”.
Botol-botol itu juga tak mampu menjawab tanyaku. Hah, lagi, ku hembuskan nafas bersamaan dengan asap yang keluar melalui mulut dan hidungku.
“ada apa denganmu?”
Suara yang kembali membuatku berpikir kalau aku mungkin sudah gila.
“aku disini, di atasmu”
Ternyata asap yang ku hembuskan tadi berkumpul dan mengepul membentuk subuah tanda tanya. Dengan mengabaikan semua pemikiran tentang aku yang mungkin sudah mulai gila, aku bercerita padanya.
“cinta, kemana dia bawa pergi hatiku?, aku hanya berharap dia tidak terlalu jauh, yang akhirnya membuatnya jenuh, dan kemudian meninggalkan hatiku sendiri, tak tersentuh”.
“memangnya cintamu ada dimana?
“aku juga tidak tahu. Aku hanya tahu tentang perbedaan yang akhirnya membuat kami jauh”
“banyak rasa yang sebenarnya sama jika saja kalian manusia mau sedikit merasa. Dengan tidak hanya melihat warna kulit dan harum buahnya. Sama seperti perbedaan yang kalian miliki, yang jika terlihat, sungguh begitu beragam. Tapi jika saja kalian mau merasa, ternyata banyak rasa yang sama, bahkan ketika kalian sedang menelan perbedaan”
“itu dia yang membuat aku tidak mengerti. Aku seperti dihadapkan pada sebuah rangkaian puzzle raksasa bermotif hati yang telah tersusun dan kemudian dibongkar, mungkin sudah puluhan kali dilakukan. Hingga pada satu saat yang mungkin kesekian ratus kalinya, aku merasa sepertinya ada bagian yang bukan pada tempatnya, atau bisa jadi hilang.
Meski tak lelah terus mencari dan mencoba menempatkannya kembali, tapi tetap saja kelihatannya lain, tak seperti yang biasa dilakukan hingga ratusan kali. Hingga pada satu titik dimana kamu merasa sepertinya ini sudah cukup, mungkin hanya bosan dengan ini, ingin sesuatu yang lain. Dan akhinya membiarkan puzzle itu menjadi susunan yang bingung dan tak berujung”.
“mungkin memang harus seperti itu kawan. Mungkin memang harus ditinggalkan dan biarkan menjadi rangkaian susunan yang tak berujung”
“tapi kenapa harus seperti ini?, apa yang salah?,siapa yang harus disalahkan?”
“tak ada yang salah dan harus disalahkan. Ini sama seperti bunga yang ingin mekar, mengizinkan kumbang dan angin menghisap dan menebar putiknya, untuk menjadi sempurna pada waktunya. Lalu siapa yang nantinya harus disalahkan jika bunga gugur sebelum berkembang?. apa kumbang yang berlebih menghisap sarinya?, atau angin yang terlalu jauh menebarnya?. coba jawab tanya itu”
Otakku seperti memberi perintah pada mulutku untuk menjawab tanya itu, tapi sepertinya aku tak mampu. Lalu tanyaku kembali pada kepulan asap yang keluar dari mulutku.
“hal apa yang mampu membuat kita begitu bersedih?. apa saat kita melihat malaikat yang tak bisa terbang karena sayapnya yang patah, apa cinta yang gugur sebelum berkembang. Atau ketika malaikat pantas untuk mati, haruskah kita menangis untuknya”.
“bersedih dan menangislah saat kau tahu tak ada lagi cinta dihatimu. Bahkan jika itu hanya cinta untuk membenci. Lalu, masih adakah cinta di hatimu?”
“aku tak lagi tahu. Hanya berharap pada waktu, memohon untuk tidak segera berlalu, dan memutar kembali yang lalu, di saat yang sama aku berkata janji pada bunga untuk tidak membiarkannya gugur sebelum berkembang, dan melarang angin untuk bertiup terlalu kencang agar tak membuat sarinya terbang menghilang, dan sempurna saat berkembang.
Mungkin benar apa yang dikatakan jam dinding tadi kepadaku, kenapa aku tidak menjadi egois saja, menjadi angkuh dalam ringkihnya cintaku yang sepertinya masih haus akan pelukan dan sanjungan. Tapi sekuat tenaga akan ku coba menepis semua lirik lagu yang dia mainkan untukku. Aku akan melangkah sombong di antara pengemis-pengemis hati yang lapar akan kasih, sementara aku sedang membohongi diri sendiri bahwa aku masih mencari cinta yang ingin memberi”
ketika aku begitu senang membicarakan tentang ego ku. Tiba-tiba aku dibentak, sangat menghentak karena ego yang coba memanipulasi pikiranku, untuk menjadikan ini sebagai kemenanganku sendiri. Dengan keterpaksaan kebahagiaan yang dengan segala cara coba untuk dipalsukan agar semua terlihat seakan abadi.
Yang ternyata bentakan itu adalah suaraku sendiri, tapi tidak dari mulutku.
“hey. Ada apa denganmu yang merupakan wujud nyata dari aku. Kenapa kau biarkan ego meracuniku, aku hampir sekarat dalam tubuhmu karena ego yang kau biarkan menyerangku. Ada apa denganmu, dulu kita tak seperti ini!”
“hey kamu yang merupakan wujud tidak nyata dari aku. kali ini beri aku maaf yang lebih besar dari tempat cintaku bersandar. Salahkan aku akan segalanya. Beri aku makian akan kemunafikan tentang semua hal yang begitu ku inginkan. Lalu biarkan aku pergi, tersudut dan terdampar. Karena aku bahkan tak pantas memungut cinta yang terpapar. meski harus menggerutu dan menggigit lidahku, semua tak akan kembali seperti dulu. Dan jika pagi nanti cintaku kembali kesini, tolong sampaikan maafku akan seribu rasa yang hambar di tambah seribu warna yang pudar dan seribu janji yang ingkar. Tapi sampaikan juga padanya, bahwa hati yang dibawanya, akan abadi untuk cinta”
Setelah 3 jam pertengkarannya dengan semua benda mati yang dijadikannya hidup, kini pagi pun kembali bersama cinta dan separuh hatinya yang sudah mati. Cinta pun menangis dengan menggenggam separuh hati yang akan abadi.

Surat untuk sebagian surga

Apa kabarmu, cantik?
kuharap kamu tidak sedang terkejut dengan datangnya tulisanku ini. Aku akhirnya memutuskan untuk sekedar menulis surat untukmu saja. Entahlah, aku selalu yakin kamu akan bisa membaca pesanku selain menangkap doaku lewat tuhan, meskipun aku kurang begitu yakin apakah ada internet di surga sana. Aaaah sudahlah. Yang aku pernah tau surga adalah tempat dimana semua keinginan bisa terjadi? Dan itu bukan masalah bagi Tuhan, bukan?
Sayang,,,
Saat menulis surat ini, aku baru saja kembali dari pasien-pasienku. Hmm.. tubuhku terasa usang, dan semacam mau lepas segala tulangku, tapi tak menghapuskan niatku untuk menulis sedikit saja surat cinta untukmu, perempuanku.
Oh ya, kamu tak perlu khawatir lagi, karena sebelum menulis, aku sudah makan sore tadi di jalan, jadi tak perlu kamu pasang muka cemberut lucumu, sambil tetiba mencubit pinggangku, dan memaksaku untuk makan, seperti yang sering kamu lakukan dulu, disini..
Kemarin, tanpa sengaja aku menemukan tulisan manis di bukumu yang sempat tertinggal di tasku. Aku ingat, waktu itu kita terjebak macet di dalam mobil sepanjang perjalanan mengantarmu pulang. Aku baru sadar, kalau ternyata yang kamu tulis adalah ungkapan sayangmu untuk ku jaga sekalipun kamu tak lagi menemaniku di bumi ini,kamu gambarkan kamu, aku, dan analogi cinta meski maut membatasi kita.. seperti saat itu kamu sudah tahu banyak bahwa ada sedikit waktu saja yang tersisa.
Aku terus mengulang-ulang ingatan, bagian ketika aku bernyanyi keras di sebelahmu dengan suaraku yang menurutmu tak ramah lingkungan, namun semua nyanyianku, cukup untuk membuatmu tersenyum sendiri yang entah kamu malu atau lucu menahan mulasmu tentang suaraku. Aku terus ulangi dengan seksama pesan terakhirmu, bagaimana tentang rindu itu kau jaga, ketulusanmu mengalir, semacam suntikan yang memberi energi, semua itu sekejap saja membuatku tertegun tanpa sepatah kata, dan tak berapa lama, kusadari mataku sudah berawan. Aku sungguh merindukanmu,
Kamu tahu?, aku selalu bergelut dalam rindu yang tak berkesudahan. Hal yang selalu tumbuh dan bersemi tak tertahan di dalamku, tapi ternyata aku cukup bahagia dengan itu walau sendirian, Bahkan aku rasa, rindulah yang selama ini menyatukan kita dalam angkuhnya waktu,
Meski sebenarnyaa kamu tak disampingku disini..
Entah mengapa aku selalu menahan nafas setiap memanggilmu sayang di surat ini, juga dalam doa bersama tuhanku.. Belum lagi arsir wajahmu, yang sepertinya membatu di ingatanku. Sering aku membenci pagi, yang selalu memaksaku menyaksikanmu yang tak ada, bahkan sekalipun di layar handphone-ku, dan tak lagi menjadi alasan untuk aku temui menjelang siang. Sejujurnya, aku lebih suka akan malam, saat aku bisa terpejam sebentar, dan menemukanmu disana. Kamu akan muncul teratur seperti darah terhadap jantung, yang berdegup seirama, dan bersama.
Aah, aku tak yakin dimana aku sedang hidup sekarang, yang aku tahu, aku sedang pada titik, dimana semua terlihat samar, dan satu-satunya yang ku lihat jelas adalah kamu.
Perempuan-ku sayang,
Sebelum aku masuk tidur, aku ingin sekedar mengecup keningmu lewat surat ini, mengusap kepalamu tenang hingga kamu terlihat gemas dalam manjamu. Tak usah ragu, pejamkan saja matamu sebentar, karena aku akan tiba disana dan memelukmu erat.
Selamat malam, selamat tidur perempuanku, aku masih akan terus menghitung bagian detik yang berkurang satu demi satu, sampai kita dipertemukan kembali, nanti..