15 Februari 2015

Kesetiaan Separuh Jalan

Hari itu ketika ia dilahirkan dari rahim seorang wanita paruh baya, tangisan darinya mengundang haru kedua orang tuanya. Ketika itu juga disaat ia belum melihat dunia yang baru saja menyambutnya setelah perjanjian dengan Tuhan telah disanggupi. Suara adzan dari bibir ayah tercinta adalah hal pertama yang sengaja diperdengarkan tepat didepan kedua telinga. Lalu diciumnya kening sang istri sembari memeluk harapan yang baru saja dianugerahkan kepada mereka. Rasa sakit yang teramat sangat, keringat yang bercucuran dengan derasnya, dan darah yang mengalir kini terbayar sudah dengan lahirnya si buah hati. Gelisah dalam penantian, resah yang mengganggu jiwa, dan khawatir yang menggerogoti hati kini telah diusir pergi oleh pelukan sang istri disertai kerasnya tangisan seorang bayi perempuan.

Larut dalam bahagia tak menyadarkan mereka bahwa malam telah datang menghapus terang dan mulai menampakkan kegelapan. Walau demikian, mereka sedikitpun tiada gentar menghadapi kenyataan karena keyakinan mereka bahwa dia adalah lentera yang dapat memancarkan sinar terang dalam kegelapan. Hari demi hari silih berganti, putaran waktu takkan pernah berhenti hingga “ Nina Anugerah Qita ” adalah nama yang diberikan ayah kepadanya. Lengkap sudah kebahagiaan yang lama dinantikan, terpenuhi sudah balasan atas kesetiaan dalam suatu ikatan yang sah. Umur Nina kian bertambah artinya sisa hari-harinya didunia terus berkurang sampai “ kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa..hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia ” merupakan lagu lama yang baru pertama kali diperdengarkan dan mencoba terus untuk dinyanyikan. Airmata bunda tak tertahankan ketika Nina melantunkan lagu itu dengan senyuman tulus menyertai setiap syair lagu yang dinyanyikannya. Lalu rasa haru menyesakkan dada sang ayah tercinta disela kesibukannya mencari nafkah untuk hidup mereka. Airmata dan rasa haru tercampur menjadi satu membentuk harapan akan kebaktiaan seorang anak terhadap orang tua yang takkan pernah pudar rasa kasih sayang serta cinta kepada anaknya.

Suatu malam, ketika Nina mulai beranjak remaja. Musibah datang menimpa keluarga bahagia. Tiadalah hati dapat menyangka bahwa apa yang dilakukan ayah menghadirkan musibah yang mengharuskan mereka terpisah. Airmata menetes lagi, rasa haru hadir kembali sebab ayah terpaksa pergi untuk mempertanggung jawabkan segala perbuatan yang dilakukan meski demi menghidupi keluarga yang dicintai. Ayah kini telah pergi meninggalkan sang istri, ayah juga pergi meninggalkan Nina yang tidak lagi bayi. Hari-hari mulai berat dijalani, segala masalah yang datang terasa menyudutkan. 

Namun kesetiaan seorang istri dalam menanti, dan kebaktian seorang anak dalam berbuat adalah kekuatan untuk menjaga keutuhan hubungan dari ganasnya godaan. Setiap hari, setiap malam, dan setiap bunda sendiri, airmatanya berlinang mengingat semua yang pernah dilakukan bersama suami tercinta sampai buah hati mereka sebesar ini. Ia mengingat ketika pertama menjalin cinta, ia tak lupa saat-saat tertawa bersama, ia mengingat ketika pertama mendengar tangisan dari Nina, ia takkan lupa pengorbanan yang dilakukan suami untuk dirinya sebelum dan setelah hadirnya Nina. Lagu yang pernah mereka nyanyikan bersama pun tidak lepas dari ingatan bunda bahkan tak jarang ia menyanyikannya dalam duka dan kesendirian.

Nina yang kini remaja mulai mengenal yang disebut cinta. Nina juga sering bercerita kepada bunda tentang lelaki yang dapat membuatnya merasakan tenang dan damai dalam hatinya. Bunda hanya terdiam mendengarkan tanpa dapat memberi tanggapan dan ia hanya melanjutkan hidup yang terbuai harapan. Anton, adalah laki-laki yang dimaksudkan Nina. Anton adalah laki-laki yang berlatar belakang hampir sama dengan Nina. Selain itu Anton juga merupakan lelaki yang hidup dengan apa adanya dan ia sama sekali tidak pernah mempermasalahkan keadaan keluarga yang diceritakan Nina kepadanya. Anton mencintai Nina dengan tulus, begitu pun Nina pada saat itu. Disela kesendirian bunda dalam menanti kedatangan suami tercinta, Anton dan Nina semakin menampakkan keutuhan hubungan mereka. Hubungan yang banyak menghadirkan rasa iri dari teman-teman yang mengenal mereka. Bahkan tidak sedikit orang yang mengatakan mereka adalah jodoh karena memandang kemiripan yang ada pada wajah mereka berdua. Hal-hal seperti itulah yang semakin pula memperkuat hubungan yang mereka bina bersama.

Tiga tahun berlalu, disaat ibu masih setia menunggu kehadiran suami tercinta. Cinta Anton dan Nina belum tergoyahkan walau Nina tak jarang mempermainkan cinta dan sayangnya Anton. Namun karena cinta yang tulus dan sayang yang begitu besar dan mengingat setiap pengorbanan yang pernah dilakukan, sesering apapun Nina membagi hatinya kepada laki-laki lain, Anton selalu bisa memaafkan dan mempertahankan keutuhan hubungan mereka. Suatu hari, Anton merencanakan sebuah kejutan yang nantinya akan diberikan kepada Nina pada hari ulang tahunnya yang ke_21. Anton dengan cinta tulusnya mulai menyisihkan sedikit dari uang sakunya yang memang tak banyak untuk ditabung. Hari-hari Anton selalu dihiasi bayangan akan kebahagiaan yang dirasakan Nina ketika nanti ia menerima kejutan darinya. Anton bahkan sering membuat teman-temannya bingung akan kelakuannya belakangan ini. Ia lebih sering tersenyum sendiri dan kata-kata yang keluar dari bibirnya adalah kata-kata yang tidak biasanya. Melihat tingkah Anton yang berbeda dari sebelumnya, Bimo yang merupakan teman baik Anton secara spontan bertanya kepadanya. “ Kejutan apa lagi yang akan kamu berikan kepada Nina disaat dia terus-terusan menyakitimu ? ” ucapnya dengan pandangan sedikit sinis. 

Anton yang mendengar pertanyaan itu pun dengan tenang menjawab, “ Sesering apapun Nina menyakitiku, seperih apapun hatiku, dan sebesar apapun kecewa yang kurasakan. Rasa sayang dan cintaku kepada Nina jauh lebih bisa kurasakan dan rasa itulah yang selama ini menguatkanku !! ”. Bimo tidak berhenti sampai disana, merasa belum puas ia kembali melontarkan kalimat tanya kepada Anton . “ Ooh yaa, jadi kamu mempertahankan Nina yang selama ini membagi hatinya untuk laki-laki lain hanya karena rasa sayang dan cintamu yang besar ? Apa balasan atas besarnya sayang dan cintamu kepada Nina ? Ngga’ ada Ton, ngga’ ada !! ” ucapnya kembali dan kali ini ia bertanya dengan raut muka yang kecewa. Seperti pertanyaan pertama, Anton menjawabnya dengan tenang bahkan lebih tenang, “ Iya, aku akan terus mempertahankan Nina sampai nanti aku merasa tidak mampu lagi untuk mempertahankan dia dihatiku. Aku juga tidak pernah mengharapkan balasan apapun atas besarnya sayang dan cintaku kepada Nina. Bim, hatikulah yang memilih dia, bukan ragaku. Mungkin itu yang membuat aku melakukan semua ini !! ”. Lantas apa bedanya dengan kita Bim, kamu yang terus menerus menemaniku saat susah ataupun senang sampai kamu rela mengorbankan jiwa dan ragamu hanya untuk mempertahankanku didekatmu ? Balasan apa yang pernah kamu dapatkan dariku atas semua pengorbanan itu Bim ? ngga’ ada Bim, belum ada !!, ucap Anton kepada Bimo. 

Bimo yang merasa ditampar oleh perkataan Anton hanya bisa terdiam merenungkan perkataan yang keluar dari bibir Anton. Ia sadar bahwa perkataan Anton terhadap dirinya memang ada benarnya, setiap apa yang kita lakukan tidak sepenuhnya berharap ada balasan. Dan mulai saat itu Bimo tidak lagi berkata apa-apa tentang kelakuan Anton. Melihat Bimo terdiam, Anton tidak tinggal diam. Anton mengajak Bimo untuk pergi ke sebuah toko emas. Anton dan Bimo kemudian memesan sepasang cincin bertuliskan nama Anton dan Nina. Setelah ia selesai memesan, mereka kembali pulang dengan senyuman menghiasi wajah keduanya. Bimo yang tadinya mendesak Anton untuk meninggalkan Nina berubah mendukung dan Anton yang tadinya senang bertambah gembira.

Tiga hari berselang, tepat pada hari ulang tahunnya Nina yang ke_21. Anton pergi ke toko emas yang telah didatangi sebelumnya untuk menebus cincin yang dipesan tiga hari yang lalu. Ketika cincin sudah ditangan, Anton tidak langsung pulang. Ia bergegas memutar laju sepeda motor yang dipinjamnya dari Bimo dan mengarahkannya ke sebuah toko bunga yang jaraknya 20 menit dari toko emas tadi. Disana, ia membeli dua tangkai bunga mawar yang masih segar dan dimintanya si penjual untuk mengemas bunga mawar tersebut dengan rapi. Cincin dan bunga kini sudah ditangan, sekarang tinggal menunggu Nina datang padanya. Nina yang ditunggu akhirnya datang, dan apa yang diberikan Anton membuat Nina merasa sangat bahagia lalu memeluk Anton dengan eratnya. Anton pun merasa senang karena usaha yang dilakukan telah bisa membuat Nina bahagia menerima pemberiannya.

Anton yang bahagia tiba-tiba terkejut mendengar kabar Nina yang telah lima bulan menjalani hubungan secara diam-diam dengan seorang laki-laki yang jauh lebih bisa menjamin hidupnya kedepan dibandingkan Anton yang harus susah payah menabung guna membeli sesuatu untuk Nina. Anton mencari kebenaran akan kabar yang didengarnya, dan ternyata benar. Atas pengakuan Nina sendiri, Anton merasa sangat tersiksa. Siksaan yang dirasakan Anton kian bertambah ketika Nina berkata bahwa ia tidak lagi punya cinta ataupun sayang kepada Anton walau itu Cuma sedikit. Anton yang senyum kini menangis, Anton yang berusaha kini sia-sia, dan Anton yang bahagia kini berduka. Namun apalah daya, Anton dengan berat harus berusaha meninggalkan Nina yang dulu dipatok sebagai calon istri bahkan Nina dengan tenang menyarankan kepada Anton untuk melupakan dirinya sebab Nina telah menemukan Anton yang dahulu pada laki-laki yang bersamanya saat ini. Anton pun dengan terpaksa meninggalkan Nina, tapi tidak hatinya karena dalam hati Anton bahkan yang terdalam sekalipun masih ada Nina yang sulit tergantikan oleh wanita lain.

Seiring waktu terus berlalu, selagi bunda masih setia menunggu, dan selama Nina tenggelam dalam kebohongan yang entah kapan ia memulainya, nyatanya ia telah mahir. Anton sekarang menjalani sisa hidupnya dalam duka yang bercampur kecewa melihat dan mendengar kebahagiaan yang dijalani Nina dengan kekasih barunya. “ Bunda, Anton mohon maaf atas semua kesalahan Anton selama bersama Nina dan Anton bangga telah sempat menjadi bagian dari keluarga bahagia ini ”, ucap Anton kepada bunda Nina dalam satu pesan singkat bersama airmata yang membasahi pipinya. Bunda hanya terdiam saat mengetahui semuanya dan berdo’a untuk kebaikan mereka berdua. Semoga do’a bunda dapat dikabulkan oleh Tuhan, seru Anton dalam hati yang masih berharap sambil melangkahkan kaki lalu pergi.

Demikianlah kisah Anton dan Nina yang berhasil diabadikan dalam ingatan dan dituangkan dalam bentuk tulisan oleh sang penulis cerita dalam “ Kesetiaan Separuh Jalan ”. Semoga kisah ini dapat memberikan manfaat bagi setiap kita yang menyempatkan diri membacanya. Amin Yaa Rabbal Alamin.........

Di Sempadan Hijab

Kepalaku terasa sakit, aku berdiri dan membuka mataku perlahan-lahan cuba melihat keadaan sekeliling. Aku dikelilingi kepulan asap seakan-akan kepulan awan. Dimanakah aku berada? Baru sebentar tadi aku cuba untuk memetik bunga Ros yang cantik berwarna ungu. Aku bingung memikirkan apa yang telah berlaku. Jiwaku bercelaru.
“Jangan bimbang Hidayu.. aku yang bawa kamu kemari”, aku lantas berpaling kearah suara itu. Seorang lelaki perkasa berdiri di belakangku, tersenyum segak. Pakaiannya seakan-akan pahlawan kurun ke-15. “Kenapa awak bawa saya ke sini?”, soalku gentar. “Aku sudah lama perhatikanmu Puteri ku”, jawabnya jujur sambil menundukkan wajah ke tanah. “Tapi kenapa?”, soalan ku tidak terus dijawab. Dia lantas datang ke arah ku berwajah serius, “Kerana aku cinta kamu”. Aku membeliakkan mata. Dia tersenyum lalu memetik bunga Ros berwarna ungu yang berada di sebelah ku lalu memberikannya kepada ku. “Petiklah bunga ini jika kamu ingin bertemu dengan ku, keluarlah mengikut arah cahaya itu”, katanya sambil menunding jari ke arah cahaya putih yang menyilaukan mata. Aku memandang ke arah cahaya itu dan berpaling semula ke arahnya, dia telah pun ghaib dari pandangan. Aku yang masih lagi kebingungan lantas berlari melalui cahaya putih tadi. Mataku terasa sakit. Aku memejamkan mata, terasa pawana meniup halus melanggar pipiku. Aku membukakan mata, kelihatan kanak-kanak berlari anak dihadapan rumahku. Disinilah tempat terakhir aku berdiri sebelum di bawa ke sempadan hijab sana. Entah apa nama tempat tadi aku pun tak pasti, yang pasti aku masih lagi dalam kebingungan. “Kerana aku cinta kamu”, kata-kata itu masih terngiang-ngiang di telingaku. Siapakah pemuda tadi? Bila masa pula dia memerhatikan aku? Seingat aku, aku tak pernah pun melihat dia di kampung ini. Dalam aku berkira-kira akhirnya aku terlena.
Pagi itu setelah selesai menolong ibu mengemas dan memasak, aku pergi lagi ke belakang rumah. “Petiklah bunga ini jika kamu ingin bertemu denganku”, suara pemuda itu seakan angin yang meniup datang memperingatiku. Aku tercari-cari bunga Ros ungu itu. Aku harus bertemu dengan pemuda itu, aku mahu kan jawapan darinya. Mataku meliar tercari-cari bunga itu. Akhirnya mataku tertumpu ke arah bawah pohon beringin, bunga Ros ungu itu bercahaya seakan-akan memanggilku agar segera memetiknya. Aku mempercepatkan hayunan langkah, sampai sahaja betul-betul dihadapan bunga itu terus sahaja aku memetiknya. Terasa dingin menyelubungi diri, keadaan sekitar berubah seakan-akan berada di dalam sebuah taman yang cukup indah. “Assalamualaikum Puteriku”, suara pemuda kelmarin kedengaran lagi. Aku berpaling dan disambut senyuman manis olehnya. “Walaikumsalam”, aku hanya tersenyum tawar. “Aku tidak menyangka kamu akan kembali lagi ke sini Hidayu”, katanya sambil menyilangkan tangannya kebelakang. “Saya cuma nak penjelasan dari awak, kenapa awak cakap yang awak cintakan saya?”, soalku keliru. Senyuman manisnya dilemparkan ke arah air terjun yang sedari tadi turun mencurah-curah. Dia menarik nafas panjang sebelum memulakan bicara, “Aku sudah lama memerhatikanmu Hidayu, kau cantik dimataku”“Tapi saya tak nampak awak pun, kenapa selepas petik bunga Ros ungu baru boleh nampak awak?”, soalku bertalu-talu. “Kerana kita dipisahkan oleh dua hijab yang berbeza.. Namun cinta tak mengenal siapa”, jelasnya lagi. Aku terdiam mengerti. “Ayuh kita ke rumahku”, pelawanya tersenyum kacak. Aku hanya mengikutinya tanpa banyak bicara.
“Inikah gadis yang kau maksudkan itu Iskandar?”, soal seorang wanita separuh abad dihadapanku. ‘Oh, Iskandar namanya’, getus hatiku. “Ya bonda, inilah Hidayu gadis pilihanku”, jawabnya penuh adab sopan. “Kau harus mengerti, kita berlainan dunia anakku”, wanita itu seakan memujuk. “Tiadalah yang lain mampu untuk ku cintai bonda”, suara Iskandar mendatar. Aku hanya terdiam memandang kedua beranak itu berdialog. “Tak mengapalah marilah kita menjamu selera dahulu”, wanita itu mempelawa. Kami menuju ke dapur dan menikmati hidangan makanan tengahari, anehnya makanannya sama seperti makanan penduduk di dimensi ku. Terataknya juga sama, tidak jauh beza. Cuma pertuturan mereka seakan-akan di zaman Hang Tuah. Aku seakan teruja, langsung tidak menyangka dapat melihat sendiri kehidupan makhluk yang tidak dapat dilihat oleh mata kasar ini. Subhanallah, begitu besar kuasa Allah pencipta.
Iskandar membawa ku bersiar-siar di taman, dia menghadiahkan ku sebentuk cincin emas yang sangat cantik. “Inilah tanda kasih ku padamu Hidayu”, katanya jujur tersenyum kacak menampakkan lesung pipit di pipi kiri nya. Aku hanya tersenyum dan seakan sudah jatuh cinta. Manakan tidak, dia melayani ku bagaikan seorang puteri. Tutur katanya lembut dan sopan. Ayat-ayat cinta yang keluar dari mulutnya membuatkan aku seakan dihanyutkan lautan samudera. “Hidayu, hari sudah petang eloklah kiranya kamu pulang dahulu”, katanya jujur. Aku hanya mengganguk tanda setuju dan mengikutinya ke tempat bercahaya terang itu. Aku berpaling memandangnya sebelum melangkah kearah cahaya, “Is, aku juga cinta padamu”. Ternampak garis-garis gembira pada riak wajahnya, aku berpaling dan berlalu pergi.
Aku muncul di bawah pohon beringin, nasib baik lah hari masih cerah. Kalau tidak Ibu dan Ayah pasti mengesyaki sesuatu. Aku cepat-cepat menuju ke rumah, Ayah dan Ibu masih di ruang tamu. “Ayu, kamu kemana? Dah dua hari asyik hilang macam tu aje, dah nak dekat maghrib baru nampak batang hidung”. Ayah sudah mula menyoal. “Ayu jalan-jalan ke rumah kawan”, jawab ku lalu terus masuk ke dalam bilik. “Jangan ke belakang rumah sudah, tempat tu bukannya elok”, kata Ibu pula menyambung. Aku hanya buat tak endah, biasalah orang tua-tua sengaja menakut-nakutkan anak mereka sebagai peringatan supaya berhati-hati.
Malam itu aku terus masuk tidur sedangkan keluargaku menjamu selera di dapur, aku mengenggam erat cincin pemberian Iskandar yang berbentuk seakan-akan bunga Ros ungu di belakang rumah. Wajah Iskandar menerpa di ruangan mata ku, senyuman manisnya menyerikan hidup ku dan cintanya memenuhi kekosongan hati ku. Iskandar sungguh istimewa, tidak ada seorang pun lelaki sepertinya. Dia sempurna di mataku.
Matahari menerjah di tingkap bilik menyilaukan mata ku, aku terus bangun bersiap-siap untuk bertemu dengan Iskandar kekasih hati. Melihatkan Ibu dan Ayah tiada, aku terus ke bawah pohon Beringin dan memetik lagi bunga Ros ungu untuk ke sebelah hijab sana. Iskandar masih setia menunggu ku di tempat yang sama, kami seakan terlena dibuai cinta dua dimensi yang berbeza. Begitulah setiap hari kami bertemu, sedar tak sedar sudah hampir sebulan kami memadu asmara, kasih ku padanya sudah tak terhitung banyaknya. Iskandar juga begitu, setiap saat berjanji untuk sehidup semati bersama dan meminta agar aku sentiasa setia dengan cinta kami.
“Hidayu, sudikah kamu menjadi suri hidupku?”, soalnya tiba-tiba. Aku hanya tersenyum malu lalu melangkah menuju ke arah air terjun yang jernih. Iskandar mengikuti ku dari belakang.“Mengapa kamu berdiam diri?”, soalnya seakan cemas. “Is. . saya beri jawapan esok boleh?”, kataku meminta kebenaran. Iskandar hanya mengganguk perlahan dan tersenyum manis tanpa memaksa. Itulah sikapnya yang membuatkan aku jatuh cinta. Dia benar-benar seorang lelaki yang budiman dan berpegang teguh pada ajaranNya. Setiap hari pasti aku diajak berjemaah bersama dia dan ibunya di rumah.
Malam itu selepas makan malam, aku terus melangkah laju ingin menuju ke kamar. Tiba-tiba sahaja Ayah memanggil ku. “Ayah nak tanya sedikit, ayu buat apa kat belakang rumah siang tadi?”, soal Ayah serius, Ibu yang duduk di sebelah Ayah pula tiba-tiba menitiskan air mata. “Ayu jalan-jalan Ayah”, jawabku tersekat-sekat. “Jangan tipu, ayah nampak Ayu pergi ke pohon beringin petik sesuatu.. tapi Ayah tak nampak pun apa yang Ayu petik, lepas tu tiba-tiba ghaib”, terang Ayah yang membuatkan ku terkedu seketika. Aku menelan liur. Tembelang ku sudah pecah. “Ayu tahu tak bawah pohon beringin tu tempat orang bunian?”, soal Ayah lagi. Aku hanya mengganguk tanda faham. “Maknanya Ayu dah jumpa orang di sebelah sana?” Aku mengganguk lagi. “Ayu tahu tak kalau ada yang berkenan dan kahwin dengan Ayu, mungkin Ayu tak boleh balik ke dimensi kita lagi?”, ayah memandangku sayu. “Pernah terjadi di dalam keluarga kita Ayu, nenek Su kamu tidak pernah lagi pulang ke sini sejak berkahwin dengan orang di sebelah sana”, ibu menambah. Kali ini aku terkejut besar, bagaimana kalau ianya terjadi kepadaku? Apakah aku sanggup meninggalkan keluarga sendiri demi cinta terhadap lelaki yang berlainan dimensi? Aku memandang sayu cincin pemberian Is, tak semena-mena air mataku jatuh membasahi pipi. Ayah menghampiriku dan mengusap lembut rambutku. Ibu juga datang menghampiri untuk melihat keunikkan cincin dimensi sana.
“Pulangkan semula cincin ini, Ayah doakan kamu selamat pulang”, ujar Ayah yang mengiringi ku ke pohon beringin. Aku memetik bunga Ros ungu lalu ghaib di mata Ayah. Iskandar hadir dengan sekuntum bunga Ros ungu, dia kemudiannya menghadiahkannya kepada ku.“Jawapanmu?”, soalnya tidak sabar. “Is, saya cintakan kamu”, kataku sayu. Tidak semena-mena air mata ku jatuh berlinangan.
Iskandar menghampiri dan mengusap lembut pipiku. “Mengapa?”, soalnya kehairanan.“Iskandar, kita berasal dari dua dunia yang berbeza.. saya tak mahu berpisah dengan keluarga”, jelas ku sayu. “Mana mungkin aku mampu hidup tanpa kamu Hidayu”, suara Is terketar-ketar menahan sebak. “Sungguh aku menyintaimu”, sambungnya lagi. “Saya pun begitu, tapi kita tak dapat melawan hukum alam sayang”, jelasku sambil mengesat air mata yang sedari tadi turun mencurah-curah. Lalu ku memulangkan semula cincin pemberiannya. “Hidayu, benarkah keputusan mu begitu?”, soalnya serius. Aku hanya mengganguk perlahan, esakan semakin kuat. Iskandar menghampiriku, dia memegang bahu ku lalu mengucup dahi ku tanda kasih. Aku memejamkan mata seeratnya, terasa titisan air mata Iskandar hangat membasahi dahi ku.
Aku membukakan mata, ternyata aku sudah kembali ke alam nyata. Ayah dan Ibu sedang menanti di belakang rumah, aku memandang sayu ke arah pohon beringin, tiada lagi Ros ungu disitu. Yang masih berbekas hanyalah titisan air mata Iskandar di dahiku. Sambil berlari anak menuju ke rumah, aku menangis semahunya. Hatiku hancur berkecai saat meminta perpisahan dari nya, aku terlalu menyayangi Iskandar. Ingin sahaja aku mengundurkan masa yang masih berbekas tadi menatap puas wajahnya yang bersih itu. Aku menoleh semula ke arah pohon beringin tadi. Ternyata Iskandar ada di situ melambai sayu, kelihatan titis-titis jernih terbit dari kelopak matanya. Semakin lama susuk tubuhnya semakin kabur lalu hilang dari pandangan. Sukarnya untuk ku berpisah denganmu Iskandar, ternyata cintamu berbekas di hatiku.